Monday, June 18, 2007

ACEH

Letak geografis Aceh sangat strategis sekali, yang merupakan pintu gerbang Selat Malaka yang merupakan jalur perlayaran yang terpadat di dunia sesudah Terusan Suez. Karena itulah posisi Aceh sangatlah berpengaruh dalam kancah percaturan politik dunia, baik ekonomi maupun keamanan. Apalagi pasca tragedi Tsunami 26 Desember 2006 lalu, mengundang simpati seruruh dunia.
Beraneka ragam pendapat para ahli sejarah tentang asal mula nama Aceh. Diantaranya pendapat yang paling cocok adalah nama Aceh diambil dari bahasa Arab “Achieh” yang bemakna “Saudara”, dan sesuai ciri khas penduduknya yang sangat ramah tamah (friendly) terhadap para pendatang. Ada juga mengartikan ACEH ini adalah singkatan dari Arab – Cina – Eropa – Hindia, karena banyak penduduk yang mempunyai kemiripan dengan empat ras tersebut.
Bangsa Aceh sudah lama menjalin hubungan dengan dunia internasional, seperti berita ini yang tercatat di notes para pelopor penjelajahan samudera untuk mencari rempah-rempah. Padahal sebelum masa itu, sejak dari ribuan tahun yang lalu Bangsa Aceh sudah pernah menjalin hubungan dengan bangsa Mesir kuno. Seperti kita ketahui bahwa tradisi Mesir kuno selalu mengawet mayat raja-rajanya menjadi Mumi yang masih utuh tersimpan sampai sekarang. Bahan baku utama untuk pengawetan tersebut adalah kapur barus yang diperoleh dari bangsa timur jauh (Barousai/Barus) dan sejak lama bangsa Aceh dikenal sebagai penghasil kapur barus. Dan ada lagi kisah yang tidak pernah ditelusuri oleh pakar sejarah bahwa nama perairan Aceh juga ada tersebut dalam cerita seribu satu malam yang merupakan cerita rakyat terkenal dari negeri Irak. Pada kisah Pertualangan Simbat ketika mengarungi lautan mereka pernah tersasar ke perairan Aceh atau ke pulau Sabang. Ada juga literatur lain yang mengabarkan tentang Aceh dalam kitab Peripous tes Erythras Thalasses dan kitab Geographike Hyphegenis yang ditulis oleh nahkoda Yunani-Mesir pada permulaan Tarikh Masehi
Tingkat kebudayaan bangsa Aceh sudah maju sekali, ini dibuktikan dengan sisa-sisa peninggalan yang masih tertinggal sampai sekarang. Ada yang masih digunakan/ diingat dan ada juga yang sudah terlupakan karena pengaruh asing yang sudah membudaya pada generasi sekarang ini. Orang Aceh sudah lama mengenal dengan ilmu standar satuan (Acehness Units) seperti Meuseuti, Seuningkoi, Jeungkai, Haih, Deupa untuk menyatakan jarak, yok untuk luas, Kai, Cupak, Are, Gantang, Gunca, Kateng, untuk volume dan Saga, Bungkai, Mata, Gupang, Tahil, Mayam untuk berat. Standar satuan (Acehness Units) ini yang menjadi referensi dari standar ukuran orang Melayu. Selain itu juga mempelajari ilmu astronomi yang selalu untuk pertanian dan turun ke laut untuk mencari ikan atau melakukan pelayaran, ilmu ini disebut dengan keuneunong, yang sekarang sudah mulai terlupakan. Selain ilmu Astrologi untuk menentukan perjodohan semacam zodiak dan ilmu tentang cara membuat rumah atau bangun lainnya dari pemilihan lokasi, bahan bangunan sampai dekorasi serta waktu yang cocok untuk mulai membangun atau kalau istilah orang Cina Feng Shui. Tapi sungguh sangat disayangkan ilmu-ilmu tersebut sudah mulai meredup karena para generasi sekarang ini tidak dipakai lagi sehingga mulai dilupakan, karena lebih suka menggunakan astrologi yang dibawa oleh orang asing walaupun kurang cocok dengan budaya kita.
Begitu juga dengan tata negara atau pemeritahannya sangat bagus sekali. Kerajaan Aceh berbentuk federasi dipimpin oleh seorang raja/sultan, daerahan bawahannya dipimpin oleh raja kecil atau ulebalang. Aceh adalah bangsa pertama di Asia Tenggara yang menggunakan mata uang, dengan mata uangnya Derham Aceh atau Peng yang terbuat dari emas dan perak. Setiap daerah keulebalangan bebas mengadakan hubungan dagang antar daerah dan dengan luar negeri. Karenanya daerah pesisir banyak yang berkembang menjadi bandar ekspor-impor terkenal dan sangat ramai disingahi oleh kapal asing. Penduduk di daerah pedalaman selalu menjual hasil buminya ke pesisir dan juga membeli kebutuhan hidup lainya dari sana. Sehingga antara pesisir dan pedalaman saling membutuhkan, dengan adanya perdagangan antar daerah inilah yang menjadi motor penggerak perekonomian rakyat. Prinsip inilah merupakan awal cikal bakal sistem perdagang bebas yang diterapkan oleh negara-negara di dunia sekarang ini. Pada mulanya orang Inggris meniru darinya Aceh, kemudian dikembangkan di Inggris dan kemudian ditiru oleh Bangsa Eropa dan sekarang berkembang keseluruh dunia.
Tapi sekarang ini Aceh dikenal di seantero dunia tak lebih sebagai daerah paska bencana alam yang merengut ribuan nyawa dan daerah bekas komplik yang mempunyai cadangan kekayaan alam yang sangat menggiurkan. Maka tidak heran banyak orang merasa mempunyai kepenting tersendiri di Aceh ini. Ada yang iklas membantu, ada yang sekedar untuk tour (studi banding) saja, ada yang membantu rekonstruksi dengan misi terselubung lainnya. Tapi sangat disayangkan ada juga yang mau menjadi musibah Aceh sebagai komoditi ekspor yang sangat laku di luar negeri. Mereka mengumpul data-data penderitaan yang kemudian dibungkus dengan janji-janji untuk dijual untuk mencari keuntungan pribadi.
Sekarang saatnya Aceh harus bangkit kembali dan tidak boleh terus bermanja diri. Kita jangan selalu terbuai dengan kebanggaan masa lalu dan impian kejayaan masa depan. Marilah kita jadikan sejarah masa lampau itu sebagai cambuk demi untuk meraih hari esok yang lebih baik daripada hari ini.

No comments: