Ganja sebagai bahan
baku industri
Secara historis ganja pertama kali ditemukan di Cina
pada tahun 2737 SM. Masyarakat Cina telah mengenal ganja sejak zaman batu.
Mereka menggunakannya dalam kehidupan sehari-hari, sebagai bahan pakaian,
obat-obatan, dan terapi penyembuhan seperti penyakit rematik, sakit perut,
beri-beri hingga malaria. Cannabis juga digunakan untuk minyak lampu dan bahkan
untuk upacara keagamaan. Secara esensial ganja sendiri yang pasti adalah
tumbuhan liar biasa layaknya rumput yang tumbuh dimana saja. Hanya saja, ganja
tidak sembarang tumbuh di tanah. Ganja memerlukan kultur tanah yang berbeda dan
cuaca wilayah yang mendukung.. Sebutan lain ganja adalah mariyuana, yang
berasal dari bahasa Portugis yaitu Mariguango yang berarti barang yang
memabukkan. Untuk bahasa ilmiahnya disebut Cannabis. Istilah ganja dipopulerkan
oleh kaum Rastafari, kaum penganut sekte Rasta di Jamaika yang berakar dari
Yahudi dan Mesir.
Seiring dengan perkembangan dunia medis dan industri,
negara-negara maju mulai mempertimbangkan untuk menjadikan serat ganja sebagai
bahan minyak bakar karena prosesnya yang mudah dan aman dari kebakaran (mungkin
cocok sebagai substitusi tanaman jarak sebagai sumber energi di Indonesia).
Karena kandungan minyaknya yang aman dan lain dari minyak olahan biasa seperti
minyak kelapa sawit. Selain minyak, serat tanaman yang disebut juga hemp ini
sangat bagus, keunggulan seratnya dapat mengalahkan serat kapas. Dari tanaman
ini, bisa diproduksi bahan tekstil, kertas, lapisan rem dan kopling hingga
untuk tali. Amerika Serikat pada Perang Dunia II sempat menggunakan serat
tanaman hemp ini untuk tali kapal bagi para tentaranya, khususnya pada armada
laut.
Di Inggris terdapat sebuah lembaga Marijuana Center,
lembaga yang melakukan penelitian tanaman ini secara medis dan farmasi.
Hasilnya, mariyuana tetap diandalkan dan menjadi obat yang ampuh. Seperti
pasien yang lumpuh, ketika menjalani terapi dengan mariyuana bisa sembuh, dapat
berjalan kembali layaknya orang normal, tidak impoten, dan mempunyai daya ingat
yang tinggi. Di Kanada, pihak pemerintah berencana melegalisasikan ganja dan
bentuk obat-obatan dan kebutuhan farmasi lainnya. Pemerintah Kanada mulai
mengijinkan pembelian ganja dengan resep dokter di apotek-apotek lokal. Satu
ons dijual sekitar $113 dan ganja dikirim melalui kurir ke pasien atau dokter
mereka. Telah banyak pasien yang melaporkan bahwa ganja mengurangi rasa mual
pada penderita AIDS dan penyakit lainnya.
Membicarakan ganja tidak akan lepas dari Aceh.
Provinsi ini terkenal dengan tanaman ganja yang hampir tersebar di seluruh
hutan-hutan lebat di Aceh. Bahkan Aceh diisukan menjadi ladang ganja terbesar
di Asia Tenggara, selain Thailand. Orang Aceh telah menggunakan ganja dari dulu
sebagai ramuan makanan dan bumbu masak. Namun saat ini jarang ditemui masakan
Aceh yang memakai bahan ganja untuk ramuan masakan, Kondisi geografis Aceh yang
mendukung, tanah yang subur, hujan yang teratur, dan posisi pegunungan dengan
iklim yang relative stabil membuat ganja mampu tumbuh subur. Di hutan-hutan
Aceh, tersebar hampir ribuan hektar ladang ganja.
Tanaman Ganja tumbuh
subur di hutan Aceh
Bayangkan jika biasanya satu hektar ladang ganja akan
menghasilkan 100 kilogram ganja siap pakai dengan harga lokal Rp. 200 ribu per
kilogram maka sekali panen bisa menghasilkan omzet Rp. 20 juta. Jika sampai di
Medan dan sekitarnya harga ganja sudah melambung mencapai Rp. 700 ribu per
kilogram. Di Jakarta dan kota-kota lainnya di Jawa, harga ganja untuk partai
besar mencapai Rp. 2 juta per kilogram atau Rp. 200 juta per hektar. Harga
eceran justru lebih tinggi lagi yakni melonjak sampai Rp. 3,5 juta. Walau belum
ada data faktual, katakanlah jumlah total ladang ganja di Aceh ada 1000 hektar
(100 ribu kilogram ganja) dengan asumsi setahun bisa tiga kali panen dengan
harga Rp. 3,5 juta per kilogram, maka setiap kali panen omzet per tahun dari
tanaman ganja adalah 100 ribu kg x 3,5 juta x 3 = Rp 1,05 triliun per tahun.
Sangat fantastis, hampir sepertiga dari jumlah APBD Provinsi Aceh tiap
tahunnya. Bayangkan jika hasil tanaman ini di ekspor, perbedaan kurs akan
menghasilkan potensi keuntungan yang berlipat, apalagi ganja Aceh mendapat
pengakuan telah mencapai standar kualitas dunia. Tak dapat dipungkiri bahwa
potensi ganja di Aceh mampu menutup defisit APBD di setiap kabupaten/kota yang
memiliki ladang ganja.
Budidaya ganja dan pemroduksiannya tidak merugikan
lingkungan. Buletin USDA # 404 menyimpulkan bahwa ganja menghasilkan 4 kali
lebih banyak ampas dengan setidaknya 4 sampai 7 kali kurang dari segi polusi.
Tanaman ini memiliki musim tumbuh yang cukup pendek. Dia juga bisa tumbuh di
hampir semua negara didunia. Akarnya yang panjang akan masuk jauh kedalam tanah
dan juga memiliki efek untuk menyuburkan tanah untuk musim tanam selanjutnya.
Ganja, tanaman baru ini dapat menambah kaya ragam dari jenis agri-culture
dan industri.
Selama ini ganja
hanya dikenal karena penyalahgunaannya yakni yang dihisap saja, seolah, tidak
ada manfaat lain dari tanaman ganja, padahal ganja mulai akar, pohon, dahan,
ranting hingga daun yang dapat diolah menjadi bahan baku industri, farmasi dan
aneka fungsi lain, perlu mengangkat nilai positif ganja, jika nilai positif
lebih terangkat maka akan dapat menekan peredaran gelap ganja yang ini lekat
dengan tanaman khas Aceh ini. "Ganja tidak mungkin dimusnahkan dari
Aceh", karena penyebarannya sangat mudah, bahkan burung pun dapat
menyebarkan benih ganja.......